Bagi Anda para pelajar pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya naskah drama. Naskah drama tentu sangat membantu Anda ketika diminta untuk menampilkan sebuah drama. Naskah tersebut dapat Anda jadikan sebagai panduan bagi para aktor, sutradara, dan kru produksi dalam memahami alur cerita, karakter, dialog, dan pengaturan panggung. Naskah ini membantu dalam menyelaraskan penglihatan dan mengeksekusi seluruh pertunjukan.
Dan bagi Anda yang ingin mencari beberapa contoh naskah drama sebagai bahan referensi atau pedoman. Berikut ini merupakan beberapa contoh naskah drama dari berbagai tema yang dapat Anda simak.
Ringkasan
Lihat Juga : Macam-Macam Keragaman Budaya di Indonesia
Naskah drama adalah suatu bentuk tulisan atau skrip yang ditulis untuk dipentaskan dalam pertunjukan drama. Naskah ini berfungsi sebagai panduan bagi para aktor, sutradara, dan kru panggung dalam menjalankan pertunjukan drama secara profesional. Naskah drama berisi dialog antar karakter, adegan, deskripsi tempat, dan instruksi gerakan atau tindakan untuk para aktor.
Di dalam naskah drama, biasanya terdapat karakter-karakter utama yang berinteraksi satu sama lain dalam berbagai situasi dan konflik. Selain itu, naskah drama juga menggambarkan alur cerita, tema, dan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton. Ada berbagai jenis naskah drama, termasuk drama komedi, drama tragedi, drama romantis, drama misteri, dan banyak lagi.
Setiap jenis drama memiliki ciri khasnya sendiri dalam gaya penulisan dan pengembangan ceritanya. Penulisan naskah drama harus memperhatikan elemen-elemen penting seperti karakter yang kuat, dialog yang menarik, konflik yang menggugah emosi, alur cerita yang terstruktur, serta keselarasan antara adegan dan penokohan. Naskah drama dapat ditulis oleh seorang penulis tunggal atau berkolaborasi dengan beberapa orang, tergantung pada kebutuhan dan kompleksitas proyek drama yang akan dipentaskan.
Lihat Juga : Alat Musik Tradisional Indonesia
Struktur naskah drama umumnya terdiri dari lima bagian utama, yang membantu menyusun alur cerita dan mengatur bagaimana pertunjukan drama tersebut akan berlangsung. Berikut adalah lima bagian struktur naskah drama:
Dalam naskah drama, “babak” biasanya mengacu pada pembagian adegan atau bagian-bagian besar dalam naskah yang menandai perubahan waktu, tempat, atau fokus cerita. Babak membantu mengorganisir alur cerita dalam naskah drama dan membantu para pementas dalam memahami struktur keseluruhan. Biasanya, setiap babak mencakup serangkaian adegan yang berkaitan dengan satu tema, konflik, atau tempat.
Contoh penggunaan “babak” dalam naskah drama:
Babak 1
(Adegan 1: Di taman)
(Adegan 2: Di ruang kelas)
Babak 2
(Adegan 1: Di rumah sakit)
(Adegan 2: Di kantor polisi)
Babak 3
(Adegan 1: Di restoran)
(Adegan 2: Di panggung teater)
Pada contoh di atas, naskah drama memiliki tiga babak yang masing-masing mencakup dua adegan. Setiap babak menandai perubahan tempat atau situasi dalam cerita, sementara setiap adegan adalah unit penceritaan yang lebih kecil dalam babak.
Penggunaan “babak” ini lebih umum dalam naskah drama untuk panggung, sementara dalam naskah drama untuk media seperti film atau televisi, istilah yang digunakan mungkin berbeda, seperti “scene” atau “sequence.” Namun, ide dasarnya tetap sama, yaitu membagi cerita menjadi bagian-bagian terorganisir untuk memudahkan pemahaman dan pementasan.
Dalam naskah drama, “adegan” merujuk pada bagian-bagian kecil yang membentuk keseluruhan naskah. Adegan adalah unit terkecil dalam struktur naskah drama dan menggambarkan serangkaian peristiwa atau dialog yang terjadi di satu tempat, pada satu waktu, dan melibatkan beberapa karakter. Adegan dapat berfungsi untuk mengembangkan alur cerita, mengungkapkan karakter, atau menghadirkan momen dramatis.
Setiap kali terjadi perubahan lokasi, waktu, atau fokus dalam naskah drama, biasanya dianggap sebagai satu adegan. Pembagian adegan membantu mengatur alur cerita dan memudahkan pementasan di panggung atau dalam produksi media.
Contoh penggunaan “adegan” dalam naskah drama:
Naskah Drama: “Pesta Malam Minggu”
Adegan 1:
(Lokasi: Ruang Tamu Rumah Sally. Waktu: Sabtu Malam)
(Sally, Tom, dan Lisa sedang bersiap-siap untuk pergi ke pesta)
Adegan 2:
(Lokasi: Pesta Malam Minggu. Waktu: Beberapa Jam Kemudian)
(Sally bertemu dengan John di pesta dan mereka berbincang-bincang)
Adegan 3:
(Lokasi: Dalam Taksi Menuju Rumah. Waktu: Larut Malam)
(Sally dan Lisa membicarakan pengalaman mereka di pesta)
Adegan 4:
(Lokasi: Kamar Sally. Waktu: Minggu Pagi)
(Sally merenungkan apa yang terjadi semalam)
Dalam contoh di atas, naskah drama memiliki empat adegan. Setiap adegan menggambarkan peristiwa yang terjadi di tempat dan waktu tertentu, dan masing-masing adegan memberikan kontribusi pada perkembangan cerita secara keseluruhan.
Penting untuk mencatat bahwa pembagian adegan dalam naskah drama membantu dalam pementasan panggung dan produksi teater. Saat pementasan, setiap adegan dapat memiliki perubahan panggung, pencahayaan, dan aksi aktor yang terpisah, sehingga membuat cerita menjadi lebih dinamis dan terstruktur.
Prolog adalah bagian pendahuluan atau pengantar singkat yang biasanya terletak di bagian awal naskah sebelum adegan pertama dimulai. Prolog berfungsi untuk memberikan latar belakang cerita, konteks, atau informasi penting kepada penonton sebelum drama dimulai. Ini membantu penonton untuk memahami situasi awal dan mengenali karakter sebelum alur cerita utama dimulai.
Di panggung, prolog biasanya diucapkan oleh salah satu karakter atau oleh narator untuk menghadirkan informasi tambahan yang penting untuk cerita. Dalam produksi media, prolog bisa disampaikan melalui narasi latar belakang atau animasi yang memberikan gambaran tentang apa yang terjadi sebelum cerita utama dimulai.
Bagian keempat dari naskah drama adalah dialog. Dialog adalah percakapan atau interaksi antara karakter-karakter di dalam cerita. Ini adalah bagian paling penting dari naskah drama karena melalui dialog, karakter mengungkapkan pikiran, perasaan, dan tujuan mereka kepada satu sama lain. Dialog membawa cerita maju dan membantu mengembangkan kepribadian dan hubungan antar karakter.
Ciri khas dialog dalam naskah drama adalah penggunaan tanda kurung (“) untuk menandai ucapan setiap karakter. Setiap dialog diawali dengan nama karakter yang mengucapkan kata-kata tersebut, diikuti oleh tanda kurung dan teks percakapan.
Contoh dialog dalam naskah drama:
Karakter A: (memasuki ruangan) Halo, semuanya! Apa kabar?
Karakter B: (tersenyum) Hai, A! Kami baik-baik saja. Bagaimana denganmu?
Karakter A: (mengernyit) Hm, rasanya agak lelah. Tapi bagaimana pun juga, senang sekali bisa bertemu kalian lagi!
Karakter C: (tersenyum lebar) Senang juga bertemu kamu lagi, A. Ada cerita apa hari ini?
Dalam contoh di atas, dialog antara Karakter A, B, dan C memberikan gambaran tentang situasi awal dan mengungkapkan suasana hati karakter. Dialog juga mengarahkan perhatian penonton atau pembaca pada tema atau masalah yang mungkin akan dijelajahi dalam drama.
Penting untuk memiliki dialog yang menarik, realistis, dan mengalir dengan lancar agar drama menjadi menarik bagi penonton. Dialog harus sesuai dengan karakter, personalitas, dan konteks situasi yang ada dalam cerita. Selain itu, dialog juga harus mencerminkan gaya dan bahasa yang sesuai dengan latar belakang karakter dan suasana drama secara keseluruhan.
Epilog dalam naskah drama adalah bagian penutup atau penjelasan singkat yang biasanya terletak di bagian akhir naskah setelah adegan terakhir selesai. Epilog berfungsi untuk memberikan kesimpulan, merangkum cerita, dan menyampaikan pesan akhir kepada penonton atau pembaca.
Epilog biasanya berisi beberapa kalimat atau beberapa adegan yang menandai akhir dari drama dan memberikan penutup pada alur cerita serta perkembangan karakter. Epilog bisa disampaikan melalui dialog antar karakter, monolog, atau narasi dari tokoh tertentu.
Contoh epilog dalam naskah drama:
(Karakter A berdiri sendirian di panggung)
Karakter A: (monolog) Hidup adalah perjalanan yang penuh dengan cobaan dan keajaiban. Dalam setiap langkah, kita menemukan kekuatan untuk menghadapinya. Saya telah belajar banyak dari peristiwa yang telah terjadi, dan sekarang saya siap menghadapi masa depan dengan kepala tegak dan hati yang penuh harapan. Terima kasih, sahabat-sahabat, atas perjalanan yang luar biasa ini.
(Adegan berganti, panggung berakhir)
Dalam contoh di atas, epilog diakhiri dengan monolog dari Karakter A yang merenungkan perjalanan dan perkembangan karakternya. Epilog ini memberikan penutup yang bermakna pada drama dan memberikan kesan akhir yang mendalam pada penonton.
Epilog sangat penting untuk memberikan kesan yang kuat dan memastikan penonton mengingat drama dengan baik.
Lihat Juga : Contoh Yel-Yel Pramuka
Judul: “Cinta di Bawah Bintang”
Prolog:
(Narator berdiri di tengah panggung)
Narator: Selamat malam, ladies and gentlemen. Malam ini, kami akan membawakan kisah tentang dua hati yang bertemu di bawah bintang-bintang. Di antara canda dan tawa, mereka menemukan makna cinta yang sesungguhnya. Mari saksikan drama “Cinta di Bawah Bintang.”
Adegan 1:
(Taman pada malam hari. Syafa dan Haris sedang berjalan-jalan)
Syafa: (tersenyum) Malam ini begitu indah, bukan?
Haris: (menatap langit) Ya, bintang-bintangnya begitu indah. Seperti kita, hati kita bersinar di bawah bintang-bintang ini.
Syafa: (tersipu) Apa yang kamu katakan?
Haris: (menatap A dengan lembut) Aku sudah lama menyimpan perasaan ini. Aku mencintaimu, A.
Syafa: (kaget) Aku… Aku juga mencintaimu, (mereka berpegangan tangan)
Adegan 2:
(Rumah Syafa. Mereka duduk berdua di teras)
Syafa: (tersenyum) Semua terasa begitu indah sejak kamu datang dalam hidupku.
Haris: (berbisik) Dan kamu telah memberikan arti sejati dalam hidupku. Kamu adalah segalanya bagiku.
Syafa: (menyentuh pipi) Dan kamu adalah segalanya bagiku juga. Bersamamu, aku merasa lengkap.
Epilog:
(Narator kembali berdiri di tengah panggung)
Narator: Dan begitulah kisah cinta mereka. Di bawah bintang-bintang, dua hati menemukan makna cinta sejati. Cinta yang abadi, seperti bintang-bintang yang selalu bersinar di langit. Akankah mereka bersama selamanya? Mari kita bergandengan tangan dan menyaksikan perjalanan cinta mereka yang indah.
(Aplaus penonton)
Prolog:
Seorang tukang becak asal Madura yang dipergoki seorang polisi saat memasuki kawasan ‘Becak Dilarang Masuk!’.
Dengan santainya si tukang becak itu melintas di depan polisi sampai polisi datang meniup peluit.
Dialog:
Polisi: Apakah kamu tidak melihat gambar di sana? Becak tidak boleh masuk ke jalan ini, dengan nada tinggi sambil menunjuk rambu-rambu.
Tukang becak: Oh, iya saya lihat Pak Polisi. Tapi itu kan gambar becaknya kosong, tidak ada orangnya. Sementara becak saya kan ada orangnya, berarti boleh masuk.
Polisi: Bodoh! Apa kamu tidak bisa baca? Di bawah gambar itu kan ada tulisannya becak dilarang masuk!
Tukang becak: Memang tidak bisa baca saya, Pak. Kalau saya bisa baca, pasti saya bisa jadi polisi seperti Bapak, bukan jadi tukang becak seperti sekarang.
Prolog:
Pagi itu di sebuah sekolah SMA, Bayu berlari menghampiri Jono, Liyana, Nina, Ardi, Mira, Cici, dan Ahmad.
Dialog:
Bayu: Teman-teman, kemarin ada salah seorang teman kita yang ditahan polisi karena terlibat kasus narkotika.
Jono: Iya, kemarin saya mendengar kabar burung, tetapi saya tidak mengetahui siapa anak yang ditahan tersebut.
Nina: Katanya sih, kalau tidak salah dengar yang ditangkap polisi itu si Riko anak kelas sebelah.
Ahmad: Kasihan sekali, pasti dia ada masalah sehingga sampai mencoba obat-obatan terlarang sebagai pelariannya. Di satu sisi, kejadian tersebut merusak nama baik sekolah kita.
Liyana: Namun, bisa saja dia merupakan korban atau dijebak orang. Kita tidak boleh menuduhnya sebagai pengguna terlebih dahulu sebelum ada bukti yang kuat.
Nina: Setahuku, dia memang berasal dari keluarga cukup mampu, tetapi kurang kasih sayang dari orang tuanya.
Ardi: Benar kata Liyana, sekarang banyak oknum tidak bertanggung jawab yang menjebak atau mencari korban lainnya.
Cici: Sekarang memang sedang marak kasus narkotika di kalangan remaja. Hampir setiap hari tayangan di televisi menyiarkan berita tentang kasus narkotika.
Ahmad: Kita harus pandai-pandai memilih teman bergaul dan mewaspadai orang asing di sekitar kita.
Mira: Kasih sayang dan perhatian orang tua memang sangat berpengaruh pada kehidupan remaja yang masih labil. Kalau orang tua terus mengabaikan anak-anaknya, mereka akan terjerumus ke pergaulan bebas.
Bayu: Katanya sih, dia tidak sampai dipenjarakan karena masih di bawah umur. Dia hanya akan melewati tahap rehabilitasi dan kedua orang tuanya perlu diselidiki lebih jauh terkait ketidaktahuan mereka tentang anaknya yang sudah berulang kali menggunakan obat terlarang tersebut.
Cici: Semoga saja setelah direhabilitasi, Riko bisa sembuh dan bersekolah seperti biasanya.
Liyana: Semoga saja, perjalanan hidup kita masih panjang. Usia kita sekarang ini merupakan usia di mana kita menemukan jati diri dan merencanakan masa depan. Sangat disayangkan jika tindakan buruk yang kita perbuat sekarang dapat menghancurkan masa depan kita.
Jono: Mari kita bersama-sama saling mendukung dan mengingatkan supaya kita tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas yang akan merusak masa depan kita. Kuatkan iman dan terbuka kepada orang tua, keluarga, dan teman terdekat jika ada masalah agar kita tidak depresi dan memicu kita melakukan perbuatan terlarang seperti mencoba menggunakan narkotika!
Prolog:
Siang itu lima sekawan yakni Danu, Diba, Dita, Didit, dan Dadang sepakat untuk mengerjakan tugas sepulang sekolah bersama.
Dialog:
Dita: Nanti kita kerjakan tugas di tempat biasa ya teman-teman.
Didit: Di balai desa atau di rumah Danu?
Dita: Di balai desa saja.
Diba: Baiklah teman-teman, kalau begitu saya pulang ganti baju dan makan dulu baru saya ke balai desa.
Setelah mereka semua pulang ke rumah masing-masing dan jam menunjukkan pukul empat sore, Diba, Dita, dan Didit segera berangkat menuju balai desa. Hanya Danu yang tidak berangkat karena sepulang sekolah ia tertidur pulas dan lupa jika sudah sepakat mengerjakan tugas.
Di Balai Desa
Didit: Danu mana ya? Sudah hampir jam lima dia tak kunjung datang.
Diba: Jangan-jangan dia lupa jika sekarang kita akan mengerjakan tugas?
Dita: Atau mungkin dia mengira kalau kita akan mengerjakan tugas di rumahnya. Sebaiknya kita ke rumahnya mungkin dia sudah menunggu kita.
Dadang: Mungkin dia ada urusan tetapi lupa memberitahu kita. Kita tunggu saja disini sembari menyelesaikan separuh tugas.
Mereka berempat mengerjakan tugas bersama terlebih dahulu sembari menunggu kedatangan Danu. Setelah jam tangan Dadang menunjukkan angka pukul 5:30 sore, terlihat dari jauh anak laki-laki terengah-engah berlari membawa tas.
Didit: Tuh kan, Danu baru kemari.
Diba: Eh.. iya. Tetapi kenapa dia berlari seperti dikejar hantu dan memakai seragam sekolah?
Danu: Teman-teman? Sedang apa kalian sepagi ini di balai desa? Apa kalian tidak takut terlambat ke sekolah?
Seketika Dita, Diba, Didit dan Dadang tertawa terbahak-bahak.
Dita : Ini masih sore, Danu. Pasti kamu baru bangun tidur kan?
Diba : Makanya Dan, kita dilarang tidur sampai hampir petang.
Epilog:
Wajah Danu memerah disertai rasa malu dan menyesal.
Prolog:
Andi adalah anak sekolah yang gemar menulis. Dirinya memiliki sebuah naskah yang hendak dia terbitkan.
Dialog:
Andi: Shan, aku ingin cerita, nih?
Shani: Cerita apa? Soal mimpi gilamu, kan? Kamu sekarang mau bermimpi apa lagi? Jadi astronot? Atau, berkelana ke planet Neptunus?
Andi: Hahaha, kau ini tahu saja. Aku memang mau menceritakan mimpiku. Namun, mimpiku kali ini bukan seaneh yang dulu. Kali ini, mimpi yang aku wujudkan ini lebih realistis. Aku ingin jadi penulis novel, Shan. Tepatnya menjadi penulis novel fantasi. Kamu tahu sendiri kan kalau ini tukang ngayal. Jadi, aku yang menjadi penulis novel fantasi adalah yang bisa aku wujudkan.
Shani: Widih, tumben-tumbenan mimpimu sial, mana bagus juga lagi. Eh, ngomong-ngomong, kamu udah bikin naskahnya belum?
Andi: Udah, dong. Malah kemarin aku kirim ke penerbit.
Shani: Widih, mantap kali kalau begitu! Semoga naskah diterima penerbit ya, Ndi.
Andi: Aamiin. Makasih ya Shan.
Beberapa waktu kemudian
Shani: Ndi, bagaimana dengan naskah novelmu? Diterima penerbit tidak?
Andi: Nggak, nih Shan. Malahan, aku disuruh revisi sama penerbitnya. Mana revisiannya banyak lagi. Ah, mimpi indah untuk bikin novel fantasi mimpi yang bisa aku wujudkan.
Shani: Yaelah, Ndi. Naskah kamu kan cuma disuruh direvisi; bukan ditolak. Jadi, naskah kamu masih punya peluang buat diterbitkan oleh penerbit. Lagian, jika tidak diterbitkan di penerbit yang kamu tuju itu, kamu masih bisa kirim ke penerbit lain. Iya, kan
Andi: Iya sih, Shan. Eh, ngomong-ngomong, terima kasih ya atas masukannya.
Shani: Sama-sama, Ndi.
Epilog:
Andi pun kembali merevisi naskah novelnya tersebut. Shani sebagai sahabatnya pun terus memberi dukungan dan memberi masukan kepada Andi. Cerita pendek, novel karangan fantasi Andi pun diterbitkan dan digemari oleh banyak pembaca.
Prolog:
Suatu hari lima sekawan sedang bermain bola di lapangan desa tempat mereka tinggal. Mereka memang sering bermain bola sore hari di lapangan tersebut. Saat ini, mereka sedang beristirahat di pinggir lapangan.
Bayu: Dod, kamu dibawakan bekal apa oleh ibumu? (sambil membuka kotak bekalnya).
Dodi: Aku dibawakan bekal ayam goreng ini. Kalau kamu, Bay?
Bayu: Aku dibawain bekal udang besar sama bundaku. Soalnya kemarin ayahku menangkap udang bersama ayah Ehsan.
Dodi: Jadi, bekalmu juga juga pakai udang, San?
Ehsan: Iya, Dod. Aku sama dengan Bayu (tersenyum semringah).
Dodi: Waaahhh enaknya… aku juga suka sekali udang. Kalau kamu, Ham?
Ilham: Aku dibawakan sayur daun ubi dengan ikan sambal, Dod. Makanan kesukaanku.
Dodi: Wahhh, itu juga tak kalah enaknya. Kalau kamu, Ton?
Anton: (tersenyum meringis) Aku tidak membawa bekal. Ibuku pagi-pagi sekali sudah bekerja karena abangku akan masuk SMA. Oleh karena itu, ayah dan ibu harus giat mencari uang. Jadi, ibuku tak sempat memasakkan aku dan membawakanku bekal (sedih).
Dodi: Ya sudah, Ton. Kamu masih bisa kok makan bersama kami.
Anton: Maksudnya?
Ehsan: Bagaimana kalo kita ramai-ramai makannya biar Anton juga bisa makan, makanan kita.
Ilham: Bagaimana caranya?
Ehsan: Begini saja, bagaimana kalo kita memakan menggunakan daun pisang? Jadi, makanan kita nantinya dituang ke daun pisang itu. Biar kita semua bisa makan bareng-bareng.
Dodi: Ide bagus tuh. Ayo!
Ilham dan Bayu mengambil daun pisang yang tak jauh dari tempat mereka. Mereka semua menuangkan makanannya di daun pisang tersebut. Mereka makan dengan lahap.
Anton: Terima kasih ya teman-teman. Cuma kalian teman yang mengerti keadaanku.
Bayu: Siap. Santai aja, Ton (tersenyum).
Prolog:
(Setting: di sebuah taman kota pada sore hari)
Dialog:
Sarnowo: Sayang, minggu depan ada acara ulang tahun sepupuku. Aku mau ajak kamu datang ke pesta itu.
Mutia: (mencoba mengingat – ingat, apakah dia juga ada janji kencan dengan Amir, pacarnya yang satu lagi)..hhmm..pengen siy, tapi lihat nanti ya. Aku belum tahu minggu depan di kantor ada lembur atau tidak.
Sarnowo: (yang sebenarnya sudah tahu kalau Mutia ada kencan dengan Amir)..duuh..diusahain donk. Kan aku juga pengen ngenalin kamu ke keluarga besarku.
Mutia: Iya..aku usahain..(tak lama kemudian HP Mutia pun berdering. Mutia melirik layar HP nya dan ternyata Amir yang menelepon)
Sarnowo: Kok ngga diangkat say?
Mutia: ah ngga penting..dari temenku kok. Nanti aku telp balik saja (sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya)
Sarnowo: eh pinjam HP nya donk..aku mau sms temen kantorku (sambil senyum – senyum usil)
Mutia: pulsaku habis juga tuh (sudah mulai merasa tidak nyaman)
Sarnowo: oh ya sudah lah..yuuk kita pulang saja. Sudah sore nih
Mutia : (merasa belum mendapatkan barang apapun hari itu, dia berpikir keras tentang bagaimana caranya bisa mengajak Sarnowo ke mall) kita ke mall dulu yuuk..ngadem bentar gitu..sambil lihat-lihat
Sarnowo: oh pengen ke mall? ayoo(kemudian mereka berdua jalan ke mall karena jarak antara taman dan mall yang dekat)
(Setelah sampai di mall)
Mutia: (sibuk memilih – milih baju dan sebuah di sebuah butik)..bagus ngga say? pantes ngga aku pakai ini? (sambil bergaya bak foto model)
Sarnowo: oh bagus..makin cantik aja kamu (Sarnowo yang tahu akal bulus Mutia yang selalu morotin uangnya mulai pasang strategi)
Mutia: udah ini aja..setelah bayar kita pulang biar ngga kemalaman (sambil membawa barang – barang belanjaannya ke kasir)
(Sarnowo yang biasanya langsung mengikuti Mutia ke kasir, saat itu terlihat anteng di dekat kamar ganti dan pura-pura tidak mendengar ajakan Mutia)
Sarnowo: (berteriak untuk kesekian kalinya)..Sayang..ini lho sudah selesai dihitung belanjaannya.
Sarnowo: (sambil jalan mendekat) ya udah..tinggal dibayar kan
Mutia: kok kamu gitu..kan biasanya kamu yang bayarin (sambil marah teriak-teriak.
tak lama kemudian Amir pun mendekat ke meja kasir
Amir: oh ini juga yang biasa membayari barang-barang belanjaanmu?
Mutia: (dengan ekspresi yang kaget setengah mati) eh..hmm…anu..kok kamu bisa di sini?
Amir: aku memang sengaja datang kesini. Aku dan Sarnowo sudah tahu polah tingkahmu mempermainkan kamu
Sarnowo: sudah puas kan kamu menghabiskan uang kami berdua selama ini?
Petugas kasir mengingatkan Mutia untuk segera membayar barang belanjaannya karena jumlah orang yang antri semakin banyak
Mutia: (dengan tertunduk malu) maaf mbak, saya tidak jadi beli semua barang-barang ini (kemudian terdengar teriakan cemooh orang – orang yangs edang antri di belakang Mutia)
Amir & Sarnowo: enak ya dibikin malu seperti sekarang. Kena batunya kan sekarang.
(tanpa menjawab, Mutia kemudian lari meninggalkan Sarnowo dan Amir)
Prolog:
Ilham, Mamad, Zahra, Rira, Alan, dan Intan adalah 6 orang yang sudah bersahabat sejak sekian lama.
Berbeda dengan keempat temannya, sikap dan kepribadian Rira dan Alan sangat kontras dengan pemikiran Ilham, Mamad, Zahra, dan Intan.
Pada suatu hari ketika mereka sedang bertemu, Rira dan Alan mendapat teguran dari teman-temannya lantaran sikapnya masih saja seperti anak kecil.
Dialog:
Ilham: Apa sih yang harus kita lakukan supaya keinginan kita itu nantinya bisa terealisasi dan tidak hanya sekedar mimpi saja? (sambil melirik ke arah Rira dan Alan)
Mamad: Ya tentunya harus banyak sekali yang harus kamu lakukan! Sederhananya, misalkan dari sekarang, kamu harus mulai menata kehidupan dan kepribadian kamu lebih dewasa lagi!
Epilog:
Jawaban Mamad sejatinya ditunjukan kepada Riri dan Alan. Pasalnya, sebagai sahabat ia ingin membuat sahabatnya bersikap lebih baik lagi dan sama-sama belajar untuk memahami dan menghormati karakter masing-masing, agar pertemanan tetap terjalin.
Prolog:
Di suatu siang yang sangat terik, ada 4 orang pemuda yang berkumpul di saung di tengah-tengah sawah. Keempat pemuda tersebut tampak kepanasan dan sesekali mereka mengipaskan tangannya ke wajahnya.
Dialog:
Dian: Panasnya. Nggak ada angin mampir lagi. Siang bolong begini kita enaknya ngapain ya? (mengusap keringat di dahi dan lehernya).
Dino: Baru tau aku kalau siang itu bolong. Emang bolongnya itu di sebelah mana?
Dion: Iya, lagian siang bolong itu juga aneh. Lah kalau siang ada bolongnya, malam ada bolongnya juga nggak?
Dino: Betul itu, malam bolong juga nggak pernah dengar aku. Dari mana sih kamu dapat kata-kata itu, Dian?
Dian: Nggak tau juga (sambil cengengesan). Pokoknya, kata siang bolong itu sering aja terdengar di telingaku. Ya udah, aku ikut-ikutan aja. Kali aja bisa bikin gaul gitu.
Doni: Oalah, modal ikut-ikutan gitu mana bisa bikin gaul. Kalau emang bisa, harusnya aku udah gaul dong, kerjaanku ikutin emak ke pasar melulu tiap hari.
Dino: Wihhh anak emak, anak yang baik.
Dion: Ya, kalau modal ikut-ikutan juga bisa bikin gaul, mending kamu ikut bapak saya saja.
Dian: Ikut ke mana memangnya?
Doni: Iya, kepo juga nih. Ikut bapak kamu ke mana?
Dion: Kan gini, kemarin itu bapak ngajakin aku ke mana gitu, aku nggak mau. Nah, buat gantinya, gimana kalau kamu yang ikut. Aku yang bilang sama bapak deh.
Dian: Lah, kau ini. Nyuruh ngikut bapakmu tapi nggak tahu mau diajak ke mana. Gimana sih.
Doni: Ya udahlah, Dion kalian dengerin. Pasti bakal bikin bingung lah dia.
Dino: (Menepuk jidat) Baru inget kalau sebaiknya omongannya si Dion nggak dianggep biar nggak puyeng.
Dian: Astaga, bener juga. Ya sudahlah, masak gara-gara aku ngomong siang bolong gitu kalian malah jadi ribut.
Dino: GR aja kamu itu. Kita dari tadi ini cuma ngobrol. Bukan ribut. Nggak ada perkelahian juga.
Dian: Iya, maksud aku, ya sudah jangan dibahas lagi ini.
Doni: Lah kan memang dewan perwakilan kita mau membahas Rancangan Undang-Undang nanti
Dion: Loh iya ta? Rancangan Undang-Undang yang mana? Undang-Undang soal pengucapan siang bolong?
Doni: Aduh kau ini (menjitak kepala Dion). Nggak ada hubungannya kali, dewan sama siang bolong. Lagian ngapain juga mereka bahas ginian
Dian: Eh tapi nggak salah loh, yang namanya dewan perwakilan itu kan wakilnya kita. Jadi ya wajar dong kalau mereka juga bahas apa yang kita bahas.
Dino: Hmm bener banget (sambil mengacungkan jempol).
Doni: Sudahlah kalian ini. Matahari udah mulai lengser tuh, aku tinggal dulu ya.
Dino: Mau kemana?
Doni: Males ngomong sama kalian, selalu nggak ada ujungnya.
Dian: Lah, kita di tengah sawah, ya pantes ajalah kalau nggak ada ujungnya.
Dion: Bener banget tuh.
Doni: Ya sudahlah, pokoknya intinya aku mau pergi dulu.
Dino: Lah mau pergi, kamu ini kayak nggak betah aja ada di dunia. Kita baru usia 20-an bro, masak udah pengen koid aja.
Doni: Maksud aku, aku pulang dulu gitu.
Dian: Nah, ini nih. Harus dikoreksi nih. Kata-kata yang nggak bener gini. Kalau memang mau pulang ya bilang mau pulang dong. Jangan bilang mau pergi. Entar dikira udah nggak demen hidup kamu.
Doni: Ah terserah kau sajalah. Aku pulang dulu. Takut dicariin emak.
Dion: Ya sudah kalau begitu, kita juga pulang aja teman-teman. Nggak ada Doni nggak seru
Epilog:
Akhirnya, keempat pemuda itupun kembali ke rumahnya masing-masing.
Prolog:
Reno, Yanti, Matius, dan Ricard sudah berteman sejak kecil dan mereka berempat sudah berada dibangku sekolah SMP.
Pada suatu hari Budi bertanya tentang kesiapan temannya itu untuk mengikuti ulangan bahasa Indonesia yang akan dilangsungkan besok hari.
Dari ketiga temannya itu, Toni mengaku tidak belajar karena lebih memilih untuk bermain PS sepanjang hari.
Dialog:
Reno: Guys.. besok kita ada ulangan bahasa Indonesia, lho apa kalian sudah pada siap?
Yanti: Siap dong.. aku sudah belajar dari kemarin-kemarin
Matius: Aku juga sudah belajar kok.. Semoga saja nanti nilaiku bagus! Kalu kamu Ton?
Ricard: Aku nggak belajar sama sekali.
Reno: Kok gitu? emang kamu ngapain aja? main PS doang ya?
Matius: Iya sih.. Soalnya tiap malam aku ngabisin banyak waktu untuk main PS doang. Urusan belajar mah aku nggak terlalu perduliin.
Lihat Juga : Contoh Cerpen Berbagai Tema
Prolog:
Ruangan kelas terasa sangat dingin dan tegang, karena bertepatan dengan momen ujian semester sekolah. Andi dan Bani duduk sebangku, kemudian ada Siti dan Dina duduk sebangku di depannya, sedangkan Bidu duduk sendiri di samping Bani.
Saat itu, matematika adalah mata pelajaran yang sedang diujikan. Semua murid pun tampak kebingungan dan kewalahan saat melihat soalnya. Sehingga, terjadilah percakapan antara para sekawan, Andi, Bani, Bidu, Siti dan Dina.
Dialog:
Bani: Dina, aku mau minta jawaban dari soal nomor 6 dan 7 dong!
Dina: B dan D
Siti: Kalau nomor 11, 12, dan 13 jawabannya apa Ban?
Bani: 11 A, 12 D, nomor 13 aku belum nih.
Andi: Husssttt… jangan kenceng-kenceng nanti guru dengar lho.
Siti: Soalnya susah sekali, masih banyak yang belum aku kerjakan nih.
Kemudian mereka berempat pun memutuskan untuk saling contek menyontek. Namun, tidak dengan di Bidu. Bidu malah terlihat tenang dan mengerjakan soal ujiannya sendiri tanpa bergabung untuk menyontek.
Bani: Bid, kamu udah selesai jawab soal?
Bidu: Belum, masih 2 soal lagi.
Bani: Aku mau minta jawaban nomor 16 sampai 20 Bid!
Bidu: Nggak bisa, Ban.
Bani: Lah kenapa? Kita kan sahabat, harus kerja sama.
Dina: Iya Bidu, kita harus kerja sama
Andi: Iya, kamu kan paling pintar di sini Bid.
Bidu: Tapi bukan kerja sama yang seperti ini harusnya.
Siti: Kenapa emangnya? Cuma beberapa soal doang!
Bidu: Menyontek atau memberi contekan itu hal buruk sama dengan soda. Aku tidak mau menyontek karena dosa, atapun memberi contekan ke kalian. Aku minta maaf ya.
Siti: Tapi saat ini mendesak Bid.
Dina: Ya Bidu, bantu kami.
Bidu: Tidak, maaf.
Andi: Ya sudah, biarkan. Uruslah urusanmu sendiri Bid dan kami akan urus urusan kami sendiri.
Bani: Kita lihat buku saja.
Bani pun lalu mengeluarkan buku matematika dari kolong mejanya secara diam-diam. Kemudian melihat rumus dan jawabannya. Lalu, Siti menanyakan hasilnya.
Siti: Bagaimana Ban, ada tidak? apa jawabannya?
Bani: Ada. kalian dengar ya. 16 A, 17 D, 18 B, 19 A, 20 C.
Namun, suara Bani yang terdengar keras, membuat guru pun mendengarnya. Seketika menghampiri mereka.
Guru: Hey, kalian ini, mencontek terus. Kelar saja kalian!
Mereka berempat pun keluar dari kelas dan dihukum di lapangan untuk menghormati tiang bendera.
Bani: Aku tidak menyangka akan dihukum seperti ini.
Siti: Seharusnya kita belajar ya.
Andi & Dina: “Iya benar!”
Tiba-tiba Bidu keluar kelas dan menghampiri mereka. Kemudian ia ikut berdiri hormat sama seperti yang lain.
Dina: Kenapa Bid? Kamu dihukum juga?
Bidu: Tidak, aku ingin menjalani hukuman kalian juga. Kita kan sahabat? Aku ingin kita bersama.
Siti: Aku berharap ini jadi pelajaran untuk kita semua ya.
Dina: Dan tidak boleh diulang lagi.
Andi: Kita sahabat sejati!
Epilog:
Lalu, mereka pun menjalani hukuman dengan tawa dan senyum. Persahabatan akan mengalahkan segala keburukan dan membuat kita tidak akan mengulangi hal buruk lagi.
Prolog:
Siang itu lima sekawan yakni Danu, Dina, Dita, Didi, dan Dadang sepakat untuk mengerjakan tugas sepulang sekolah bersama.
Dita: “Nanti kita kerjakan tugas di tempat biasa ya teman-teman.”
Didi: “Di balai desa atau di rumah Danu?”
Dita: “Di balai desa saja.”
Dina: “Baiklah teman-teman, kalau begitu saya pulang ganti baju dan makan dulu baru saya ke balai desa.”
Setelah mereka semua pulang ke rumah masing-masing dan jam menunjukkan pukul empat sore, Dina, Dita, dan Didi segera berangkat menuju balai desa. Hanya Danu yang tidak berangkat karena sepulang sekolah ia tertidur pulas dan lupa jika sudah sepakat mengerjakan tugas.
*Sampai di balai desa*
Didi: “Danu mana ya? Sudah hampir jam lima dia tak kunjung datang.”
Dina: “Jangan-jangan dia lupa jika sekarang kita akan mengerjakan tugas?”
Dita: “Atau mungkin dia mengira kalau kita akan mengerjakan tugas di rumahnya. Sebaiknya kita ke rumahnya mungkin dia sudah menunggu kita.”
Dadang: “Mungkin dia ada urusan tetapi lupa memberitahu kita. Kita tunggu saja disini sembari menyelesaikan separuh tugas.”
Mereka berempat mengerjakan tugas bersama terlebih dahulu sembari menunggu kedatangan Danu. Setelah jam tangan Dadang menunjukkan angka pukul 5:30 sore, terlihat dari jauh anak laki-laki terengah-engah berlari membawa tas.
Didi: “Tuh kan, Danu baru kemari.”
Dina: “Eh.. iya. Tetapi kenapa dia berlari seperti dikejar hantu dan memakai seragam sekolah?”
Danu: “Teman-teman? Sedang apa kalian sepagi ini di balai desa? Apa kalian tidak takut terlambat ke sekolah?”
Seketika Dita, Dina, Didi dan Dadang tertawa terbahak-bahak.
Dita: “Ini masih sore, Danu. Pasti kamu baru bangun tidur kan?”
Dina: “Makanya Dan, kita dilarang tidur sampai hampir petang.”
Epilog:
Wajah Danu memerah disertai rasa malu dan menyesal.
Judul: Ketika Pangeran Mencari Istri
Prolog:
Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah seorang raja yang bijaksana. Namanya Raja Henry. Raja Henry memiliki seorang anak bernama Pangeran Arthur. Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda pengembara. Ia datang ke kerajaan dan menemui Pangeran yang sedang melamun di taman istana.
Pengembara: “Selamat pagi, Pangeran Arthur!”
Pangeran Arthur: “Selamat pagi. Siapakah kau?”
Pengembara: “Aku pengembara biasa. Namaku Theo. Kudengar, Pangeran sedang bingung memilih calon istri?”
Pangeran Arthur: “Ya, aku bingung sekali. Semua wanita yang dikenalkan padaku, tidak ada yang menarik hati. Ada yang cantik, tapi berkulit hitam. Ada yang putih, tetapi bertubuh pendek. Ada yang bertubuh semampai, berwajah cantik, tetapi tidak bisa membaca. Aduuh!”
Pengembara: “Hmm, bagaimana kalau kuajak Pangeran berjalan-jalan sebentar. Siapa tahu di perjalanan nanti Pangeran bisa menemukan jalan keluar.”
Pangeran Arthur: ”Ooh, baiklah.”
Mereka berdua lalu berjalan-jalan ke luar istana. Theo mengajak Pangeran ke daerah pantai. Di sana mereka berbincang-bincang dengan seorang nelayan. Tak lama kemudian nelayan itu mengajak pangeran dan Theo ke rumahnya.
Nelayan: “Istriku sedang memasak ikan bakar yang lezat. Pasti Pangeran menyukainya.”
Istri nelayan: (Datang dari dapur untuk menghidangkan ikan bakar). “Silakan Tuan-tuan nikmati makanan ini.”(Kembali lagi ke dapur)
Pengembara: “Wahai, Nelayan! Mengapa engkau memilih istri yang bertubuh pendek?”
Nelayan: (Tersenyum). “Aku mencintainya. Lagi pula, walau tubuhnya pendek, hatinya sangat baik. Ia pun pandai memasak.”
Pangeran Arthur: (Mengangguk-angguk)
Selesai makan, Pangeran Arthur dan pengembara itu berterima kasih dan melanjutkan perjalanan. Kini Theo dan Pangeran Arthur sampai di rumah seorang petani. Disana mereka menumpang istirahat. Mereka beberapa saat bercakap dengan Pak Tani. Lalu, keluarlah istri Pak Tani menyuguhkan minuman dan kuekue kecil. Bu Tani bertubuh sangat gemuk. Pipinya tembam dan dagunya berlipatlipat. Kemudian, Bu Tani pergi ke sawah,
Pengembara: “Pak Tani yang baik hati. Mengapa kau memilih istri yang gemuk?”
Pak Tani: (Tersenyum). “Ia adalah wanita yang rajin. Lihatlah, rumahku bersih sekali, bukan? Setiap hari ia membersihkannya dengan teliti. Lagipula, aku sangat mencintainya.”
Pangeran Arthur: (Mengangguk-angguk).
Pangeran dan Theo lalu pamit, dan berjalan pulang ke Istana. Setibanya di Istana, mereka bertemu seorang pelayan dan istrinya. Pelayan itu amat pendiam, sedangkan istrinya cerewet sekali.
Pengembara: “Pelayan, mengapa kau mau beristrikan wanita sebawel dia?”
Pelayan: “Walaupun bawel, dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat mencintainya.”
Pangeran Arthur: (Mengangguk-angguk). “Kini aku mengerti. Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan calon istriku. Yang penting, aku mencintainya dan hatinya baik.”
Pengembara: (Bernapas lega, lalu lalu membuka rambutnya yang ternyata palsu. Rambut aslinya ternyata panjang dan keemasan. Ia juga membuka kumis dan jenggot palsunya. Kini di hadapan Pangeran ada seorang puteri yang cantik jelita.) “Pangeran, sebenarnya aku Puteri Rosa dari negeri tetangga. Ibunda Pangeran mengundangku ke sini. Dan menyuruhku melakukan semua hal tadi. Mungkin ibundamu ingin menyadarkanmu.”
Pangeran Arthur: (Sangat terkejut). “Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk menjadi istriku.”
Epilog:
Pangeran Arthur dan Putri Rosa akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.
Babak I
Pagi-pagi, suasana di kelas IX SMP Sambo Indah cukup ramai. Bermacam-macam tingkah kegiatan mereka. Ada yang mengobrol, ada yang membaca buku. Ada pula yang keluar masuk kelas.
Cahyo: “Ssst… Bu Indati datang!” (Para siswa segera beranjak duduk di tempatnya masing-masing)
Bu Indati: “Selamat pagi, Anak-anak!” (ramah)
Anak-anak: “Selamat pagi, Buuuuuu!” (kompak).
Bu Indati: “Anak-anak, kemarin Ibu memberikan tugas Bahasa Indonesia membuat pantun, semua sudah mengerjakan?”
Anak-anak: “Sudah Bu.”
Bu Indati: “Arga, kamu sudah membuat pantun?”
Agra: “Sudah dong Bu.”
Bu Indati: “Coba kamu bacakan untuk teman-temanmu.”
Agra: (tersenyum nakal)
“Jalan ke hutan melihat salak,
Ada pula pohon-pohon tua
Ayam jantan terbahak-bahak
Lihat Inka giginya dua”
Anak-anal: (Tertawa terbahak-bahak).
Inka: (Cemberut, melotot pada Agra)
Bu Indati: “Arga, kamu nggak boleh seperti itu sama temannya.” (Agak kesal) Kekurangan orang lain itu bukan untuk ditertawakan. Coba kamu buat pantun yang lain.”
Agra: “Iya Bu!” (masih tersenyum senyum).
Babak II
Siang hari. Anak-anak SMP Sambo Indah pulang sekolah, Inka mendatangi Arga.
Inka: “Arga, kenapa sih kamu selalu usil? Kenapa kamu selalu mengejek aku? Memangnya kamu suka kalau diejek?” (cemberut)
Agra: (Tertawa-tawa) “Aduh…maaf deh! Kamu marah ya, In?”
Inka: “Iya dong. habis…kamu nakal. Kamu memang sengaja mengejek aku kan, biar anak-anak sekelas menertawakan aku.”
Agra: “Wah…jangan marah dong, aku kan cuma bercanda. Eh, katanya marah itu bisa menghambat pertumbuhan gigi, nanti kamu giginya dua terus, hahaha…”
Danto: (Tertawa). “Iya, Kak. Nanti ayam jago menertawakan kamu terus!”
Inka: “Huh! kalian jahat! (Berteriak) Aku nggak ngomong lagi sama kalian!” (Pergi)
Gendis: (Menghampiri Inka) “Sudahlah In, nggak usah dipikirkan. Arga kan memang usil dan nakal. Nanti kalau kita marah, dia malah tambah senang. Kita diamkan saja anak itu.
Babak III
Hari berikutnya, sewaktu istirahat pertama.
Agra: (Duduk tidak jauh dari Gendis) “Dis, nama kamu kok bagus sih. mengeja nama Gendis itu gimana?”
Gendis: “Apa sih, kamu mau mengganggu lagi, ya? Beraninya cuma sama anak perempuan.”
Agra: “Aku kan cuma bertanya, mengeja nama Gendis itu gimana. Masak gitu aja marah.”
Gendis: “Memangnya kenapa sih? (Curiga) Gendis ya mengejanya G-E-N-D-I-S dong!”
Agra: “Haaa…kamu itu gimana sih Dis. Udah SMP kok belum bisa mengeja nama sendiri dengan benar. Gendis itu mengejanya G-E-M-B-U-L. Itu kayak pamannya Bobo, hahaha….”
Teman-teman Agra: (tertawa)
Gendis: “Arga, kamu selalu begitu! Bisa nggak sih, sehari tanpa berbuat nakal? Lagi pula kamu cuma berani mengganggu anak perempuan. Dasar!” (Marah dan meninggalkan Agra).
Babak IV
Di perjalanan, hari sudah siang. Inka dan Gendis berjalan kaki pulang sekolah. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar bunyi bel sepeda berdering dering.
Agra: (Di atas sepeda) “Hoi…minggir…minggir…. Pangeran Arga yang ganteng ini mau lewat. Rakyat jelata diharap minggir.”
Inka & Gendis: (Menoleh sebal)
Agra: (Tertawa-tawa dan…. gubrak terjatuh) “Aduuuuh!”
Inka: “Rasakan kamu! (Berteriak) Makanya kalau naik sepeda itu lihat depan.”
Gendis: “Iya! Makanya kalau sama anak perempuan jangan suka nakal. Sekarang kamu kena batunya.”
Agra: (Meringis kesakitan) “Aduh… tolong, dong. Aku nggak bisa bangun nih?”
Inka: “Apa-apaan ditolong. Dia kan suka mengganggu kita kita. Biar tahu rasa sekarang. Lagi pula, paling dia cuma pura-pura. Nanti kita dikerjain lagi.”
Agra: “Aduh… aku nggak pura-pura. Kakiku sakit sekali. (Merintih) Aku janji nggak akan ngerjain kalian lagi.”
Inka: (Menjadi merasa kasihan pada Agra) ”Ditolong yuk, Dis.”
Gendis: “Tapi…”
Inka: “Sudahlah, kita kan nggak boleh dendam sama orang lain. Bagaimanapun, Arga kan teman kita juga.”
Gendis: (Mengangguk dan mendekati Arga).
Inka: “Apanya yang sakit, Ga?”
Agra: “Aduh… kakiku sakit sekali. Aku nggak kuat berdiri nih.”
Inka: “Gini aja Dis, kamu ke sekolah cari Pak Yan yang jaga sekolah. Pak Yan kan punya motor. Nanti Arga biar diantar pulang sama Pak Yan. Sekarang aku di sini menemai Arga.”
Gendis: (Bersemangat) “Ide yang bagus.” (Pergi menuju ke sekolah yang masih kelihatan dari tempat itu).
Agra: “In… (Lirih) Maafkan aku, ya. Aku sering gangguin kamu, Gendis, Anggun, dan teman-teman yang lain.”
Gendis: “Makanya kamu jangan suka ngerjain orang, apalagi mengolok-olok kekurangan mereka. Jangan suka meremehkan anak perempuan. Nyatanya, kamu membutuhkan mereka juga, kan?”
Agra: “Iya deh, aku janji nggak akan ngerjain kalian lagi.”
Arga betul-betul menepati janjinya. Sejak kejadian itu, ia tak pernah mengganggu teman-temannya lagi. Arga pun jadi punya banyak sahabat, termasuk Inka dan Gendis. Mereka sering mengerjakan PR dan belajar bersama.
Agra: (Bicara sendiri) “Ternyata kalau aku nggak nakal, sahabatku tambah banyak,” pikir Arga. ”Ternyata juga, punya banyak sahabat itu menyenangkan. Kalau mereka ulang tahun kan aku jadi sering ditraktir, hihihi….”
Judul: Lomba Masak
Prolog:
Reni, Ria, Untari, dan Susi sedang duduk-duduk di teras rumah Ria. Di atas meja terhidang minuman dan sepiring pisang goreng. Peristiwa itu terjadi pada suatu sore hari.
Reni: “Bagaimana Ri, kau sudah mendapat ide?”
Ria: (Penuh tanda tanya). “Sebetulnya sudah, tapi… apakah kalian setuju dengan ideku ini?”
Untari dan Susi: (Hampir bersamaan). “Coba katakan, apa idemu?”
Ria: “Begini (diam sebentar). Kita buat saja masakan dari bahan-bahan yang ada di sekitar kita. Kebetulan kami panen pisang dan singkong, kemarin. Nah, kita bisa memanfaatkan kedua bahan itu.”
Untari: “Tapi… apakah masakan kita tidak memalukan? Sebab, singkong dan pisang hanya bahan murah.”
Susi: “Benar pendapat Untari, tentunya kelompok kita akan membuat masakan dari bahan yang lebih baik dan lebih mahal.”
Reni: “Tetapi aku setuju dengan pendapat Ria. Dengan bahan yang sederhana kita pun dapat membuat makanan yang enak. Kebetulan kakakku pernah membuat makanan dari bahan singkong dan pisang. Jadi, kita dapat belajar dari dia.”
Ria: “Ya, ibuku pun pernah memasaknya, dan hasilnya… Kami semua senang.”
Untari: (Bernada khawatir). “Tapi… Bagaimana dengan kelompok lain?”
Susi: “Wah, mereka pasti akan memasak makanan yang enak dan mahal.”
Reni: “Ah, makanan mahal belum tentu enak rasanya. Dan kita harus mengingat kemampuan kita.”
Ria: “Betul kata Reni, sebaliknya makanan yang murah belum tentu tidak enak. Maka, sekarang kita putuskan saja, kelompok kita, kelompok II, akan membuat makanan dari bahan singkong dan pisang.”
Reni: “Ya, aku setuju, bagaimana Untari, dan kau Susi?”
Untari: (Bernada pasrah). “Bisa begitu… Ya sudahlah, aku setuju.”
Susi: “Aku juga setuju.”
Judul: Naik Kelas
Ardi: “Aku tahu kamu adalah juara kelas. Tetapi dari tadi aku perhatikan wajahmu tampak bimbang, seperti angin ribut. Coba lihat mereka! Bersorak-sorak gembira! Mereka telah berhasil merebut kemenangan dalam kenaikan kelas ini meskipun tidak menjadi juara seperti kau!”
Citra: “Itulah bedanya!”
Ardi: “Tentunya ada yang sedang kamu pikirkan.”
Citra: “Tentu saja! Namanya juga orang hidup!”
Ardi: “Apakah kamu sedang memikirkan hasil juaramu itu?”
Citra: “Tidak!”
Ardi: “Nilaimu yang bagus?”
Citra: “Tidak!”
Ardi: (Bersungut) “Semua tidak!” (Setelah diam sejenak) “Yang kamu pikirkan itu, apakah ada hubungannya dengan makhluk hidup?”
Citra: “Ya dan tidak!”
Ardi: “Sejenis hewan?”
Citra: “Tidak!”
Ardi: “Manusia? Tumbuhan? Cacing?”
Citra: “Tidak!”
Ardi: “Manusia tidak, hewan tidak, tumbuhan juga tidak! Eng… apa ada hubungannya dengan orang lain?”
Citra: “Ya!”
Ardi: (Kecewa) “Ah, kalau saja aku tahu apa yang ada di dalam kepalamu, aku tentu tidak akan main ragam pesona seperti ini! Tak tahulah apa yang hendak aku lakukan dengan proyek termenungmu itu! Semula…sebagai seorang kawan, aku ingin membantu.Siapa tahu kepalaku yang dungu ini bisa memberikan pertolongan. Atau paling tidak, semacam perhatian yang khusus terhadap masalah yang khusus pula.”
Citra: “Nah! Mendekati hal itu, Ar!”
Ardi: “O, soal yang khusus-khususan itu, toh?”
Citra: “Ya. Bahkan sangat khusus dan sangat pribadi!”
Ardi: “Apa itu?”
Citra: “Aku kagum dan tidak mengerti terhadap dirimu, Ardi!”
Ardi: “Terhadap aku yang bodoh dan tidak naik kelas ini?”
Citra: “Ya. Kamu tidak naik kelas, tetapi begitu besar perhatianmu padaku. Kamu tidak naik kelas, tetapi tampak tidak merasa kecewa, bahkan tenang-tenang saja. Itulah yang membuat aku bingung!”
Judul: Drama Tengah Malam
(Malam sudah larut. Ibu duduk termenung. Ratih keluar dari pintu samping kanan).
Ratih: “Maaf, Bu. Mungkin pertanyaan Anwar tadi siang telah membuat hati Ibu resah. Hatiku pun turut resah seperti hati Ibu.Barangkali malam ini, semua penduduk desa ini menjadi resah seperti kita.”
Ibu: “Tidurlah, Ratih!”
Ratih: “Adilkah jika seseorang menyuruh orang lain tidur, sementara dia sendiri tetap terjaga? Ibu tidak boleh memaksakan diri untuk terus-terusan memikirkan kata-kata Anwar. Dia masih kekanak-kanakan.Kata-katanya seperti angin yang berembus, lalu hilang begitu saja.”
Ibu: “Apa yang diucapkan adikmu Anwar itu benar, Ratih. Pertanyaannya wajar. Dia bertanya tepat pada waktunya, yaitu pada saat para romusha pulang ke desa masing-masing dan ayah kalian seharusnya berada bersama mereka.”
Ratih: “Ayah tidak mungkin berada di antara para romusha itu, Bu! Beberapa jam yang lalu kapal terakhir sudah berlabuh. Pak Hasta tetangga kita sudah kembali. Telah kudengar sorak-sorai anak-anak dan istrinya. Tetapi ayah?” (Diam sejenak) “Mungkin kabar yang dibawa angin itu benar. Dengan demikian akan bertambahlah kekecewaan keluarga kita.”
Ibu: “Lebih kecewa lagi hati adikmu, Anwar. Dia tidak tahu sama sekali ke mana ayahnya pergi. Dia tidak tahu apa itu kerja paksa. Dia hanya tahu kalau ayahnya pergi, kemudian kembali dengan membawa setumpuk mainan di tangannya.”
(Terdengar jam berdentang 12 kali)
Ratih: “Tengah malam, Bu. Kapal terakhir sudah meninggalkan pelabuhan setelah menurunkan para romusha. Artinya kapal itu sudah tiga jam beristirahat sebelum berlayar kembali. Mana ayah kita? Kalau dia terkubur di pelabuhan, apakah ada koran yang membuat berita tentang kematiannya? Atau mati di tengah laut dan jasadnya diumpankan kepada ikan hiu?”
Ibu: “Jepang adalah Jepang, Ratih. Saudara Tua dapat bertindak sewenang-wenang terhadap saudara mudanya yang terlantar. Kecil harapannya untuk menemukan ayahmu. Berita yang ibu terima enam bulan yang lalu memberi keyakinan bahwa ayahmu meninggal disengat ular berbisa. Banyak orang bercerita tentang perlakuan Jepang terhadap romusha. Dan ayahmu pasti diperlakukan sama seperti kepada mereka. Nasib orang bodoh selalu tidak menguntungkan.”
Ratih: “Jadi Ibu berkeyakinan kalau ayah telah meninggal dunia?”
Ibu: “Ibu tidak mengatakan demikian, tapi akh…?”
(Jam berdentang satu kali)
Ratih: “Malam telah mulai berlalu. Selamat pagi, dunia! Kalau ayah kami tidak kembali… terkutuklah penjajah itu!”
(Terdengar pintu diketuk. Seorang lelaki muncul membawa sebungkus pakaian)
Ibu: “Pak Hasta!”
Hasta: “Inilah. Harap kalian terima dengan lapang dada.”
Ratih: “Mana ayahku, Pak?”
Hasta: “Hanya Tuhan yang tahu.”
(Tangis meledak, ke babak berikutnya)
Prolog:
Sore itu, ada dua orang remaja putri yang ingin pergi ke sebuah minimarket untuk membeli camilan namanya Sarah dan Siti.
Siti: “Sar aku lapar! yuk kita otw minimarket terdekat.”
Sarah: “Pas Sekali aku juga lapar yuk beli camilan.”
Setelah perbincangan tadi mereka memakai motor dan helm tapi tidak pakai masker.
Siti: “Ayok sar kamu yang bawa motornya aku yang bonceng ya.”
Sarah: “Ok.”
(Saat tiba di depan indomaret mereka berdua kaget karena ada polisi sedang berpatroli masker karena sedang dalam kondisi PPKM Covid 19, lalu mereka kaget bukan kepalang karena mereka berdua gak pakai masker).
Sarah: “Sit gimana ini ada polisi aku lupa gak bawa masker.”
Siti: “Aduh aku juga lupa lagi gak bawa masker.”
(Selanjutnya polisi datang dan menanyai mereka lalu diberi hukuman untuk menghafalkan pancasila).
Polisi: “Selamat sore dik, kok gak pakai masker?”
Sarah: “Anu pak lupa tadi saya.”
Siti: “Saya juga lupa pak.”
Polisi: “Begini ya dik. masker itu untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari paparan virus Covid 19 dek. lain kali jangan lupa ya. sekarang karena kalian berdua gak bawa masker kalian harus melafalkan pancasila.”
Sarah: “Baik pak kami bersalah tidak akan lupa bawa masker lagi.”
Epilog:
Lalu, mereka berdua melafalkan pancasila.
Prolog:
Dalam suasana belajar mengajar di dalam kelas dan sedang dilakukan ulangan mendadak serta mengumpulkan tugas.
Guru: “Anak – anak, silakan dikumpulkan tugas karya tulis minggu kemarin.”
Kemudian satu persatu siswa naik mengumpulkan tugas karya tulis masing-masing.
Guru: “Karena ini merupakan tugas perorangan, maka penelitian akan dilakukan berdasarkan isi dari karya tulis kalian. Oke, masukkan buku kalian semua. Bapak akan mengadakan ulangan.”
Reni: “Hah, ulangan apa lagi pak? baru saja 2 hari yang lalu diadakan ulangan.”
Guru: “Rara, tolong dibagikan kertas folio ini ke semua siswa.”
Rara: “Baik pak.”
(Suasana ruang kelas berubah menjadi gaduh karena setiap siswa mengeluh tentang diadakannya ulangan mendadak ini)
Guru: “Pada ulangan kali ini, bapak ingin kalian menulis ulang pokok-pokok dan kesimpulan dari karya tulis yang kalian buat.”
Kemudian siswa hening dan sibuk mengerjakan ulangan. Sedangkan pak guru sibuk memeriksa tugas karya tulis yang tadi dikumpulkan. pak guru menemukan keanehan pada tugas karya tulis milik Rara dimana isinya sama persis dengan karya tulis milik Rina. Setelah 20 menit berlalu, kemudian kertas ulangan dikumpulkan.
Guru: “Baiklah yang lain bisa istirahat. Tolong Rara dan Rina tetap disini, bapak mau bicara.”
(Semua siswa keluar ruang kelas kecuali Rara dan Rina)
Guru: “Bapak minta kalian berdua jujur kepada bapak. Kenapa tugas kalian bisa sama persis, bahkan titik dan komanya juga.”
Rara: “Saya mengerjakan karya tulis itu sendiri pak.”
Rina: “Saya juga mengerjakan karya tulis saya sendiri.”
Guru: “Lalu, Mengapa isi dari jawaban ulangan kalian tadi tidak sama dengan isi karya tulis kalian?”
(Lama Rara dan Rina terdiam, takut-takut untuk memulai berbicara)
Rina: “Maaf pak. Kalau saya jujur, apakah kalau saya berkata jujur maka bapak akan memaafkan saya?”
Guru: “Tentu.”
Rina: “Saya mendapatkan materi untuk tugas karya tulis dari internet pak. Saya langsung copy paste dan tidak saya baca lagi. Itulah mengapa ulangan tadi tidak sama dengan isi karya tulis saya.”
Guru: “Baiklah, alasan bisa bapak terima. terus kamu Rara?”
Rara: “Saya minta tolong Reni mengerjakan tugas karya tulis itu pak. Dan kelihatannya dia mencari sumber dari internet.”
Guru: “Kalau begitu tolong panggilkan Reni.”
Rara: “Baik pak.” (Rara pun keluar memanggil Reni)
Reni: “Bapak memanggil saya?”
Guru: “Iya, bapak ingin bertanya, apa benar murid 1 minta tolong pada kamu untuk mengerjakan tugasnya?”
Reni: “Iya pak, maafkan saya pak. Rara bilang dia tidak mengerti tugas dari bapak terlebih dia bilang dia tidak bisa mencari tugas tersebut dari internet karena dia tidak punya uang untuk ke warnet
Guru: “Baiklah kalau begitu. Tugas karya tulis dan ulangan kalian bapak kembalikan. kalian harus membuat karya tulis lagi dan dikumpulkan dalam 3 hari.”
Rina: “Baik pak.”
Rara: “Baik pak, akan saya kerjakan sendiri tugasnya.”
Prolog:
Semenjak sekolah dasar sampai tingkat atas, Amel dan Wahyu selalu bersama. Karena rumah mereka berdekatan dan keluarga keduanya sudah mengenal satu Sama lain. Sehingga tidak salah jika Amel dan Wahyu selalu berjalan bersama.
Rina: “Mel, kenapa kamu tidak jadian saja Sama Wahyu? Kurang apa coba Wahyu? Ganteng, keren, pintar.”
Amel: “Bukannya aku tidak mau jadian Rin, tapi APA benar kalau cewek duluan yang ngungkapin perasaannya?”
Rina: “Iya juga sih. Wahyu terlihat polos begitu kalau tidak kamu dulu bagaimana kalian bisa berpacaran.”
Amel: “Aku malu Rin.”
Rina: “Kamu juga lugu dan polos Mel.” (Batin Rina)
Wahyu: “Mel, kamu tidak makan siang? Ayo ke kantin bareng?”
Amel: “Aku … aku …”
Rina: “Kita belum makan Yu, kamu ajak Amel aku ada urusan.”
Rina tiba-tiba pergi untuk memberi kesempatan Amel dan Wahyu makan siang bersama di kantin sekolah. Namun di tengah jalan Doni anak orang kaya kakak kelas Amel memanggilnya. Semenjak masuk sekolah, Amel tertarik atas penampilan dan gaya Doni yang keren dan cool.
Doni: “Amel mau ke mana?”
Amel: “Aku mau ke kantin kak.”
Doni: “Aku ada kesulitan untuk tugas bahasa Indonesia.”
Amel: “Kakak Kan sudah kelas 3, sedangkan aku?”
Doni: “Kamu sudah terkenal Pinter mel, tolong ajarin aku ya? Please!”
(Amel terdiam dengan memandang Wahyu yang sudah kelihatan rasa kecewanya.)
Amel: “Nanti sepulang sekolah saja ya kak. Amel mau makan siang dulu.”
Doni: “Aku tunggu di gerbang sekolah.”
Setiba di kantin, Wahyu banyak menasehati Amel untuk menjauhi Doni yang terkenal sebagai cowok playboy. Namun hati Amel sudah kepincut untuk lebih dekat dengan Doni.
Amel: “Tidak usah khawatirkan aku Wahyu. Aku bisa menjaga diri.”
Wahyu: “Aku takut kamu kenapa-kenapa Mel.”
Sepulang sekolah, Doni sudah menunggu dengan motor gedenya di gerbang sekolah.
Wahyu: “Mel, hati-hati Sama Doni.”
Amel: “Iya aku tahu Yu.”
Doni: “Ayo Mel, kita belajar bersama.”
Amel hanya tersipu dan segera naik di motor Doni. Sedangkan Wahyu hanya bisa memandang dari jauh.
Doni: “Mel, aku buatkan puisi untuk tugas Bahasa Indonesia hari ini?”
Amel: “Kakak tidak bisa buat puisi?”
Doni: “Tidak. Aku saja tidak paham.”
Amel: “Puisi itu keindahan kata-kata yang disusun dengan bahasa yang indah dan bermakna.”
Epilog:
Sampai menjelang sore Amel belajar bersama dengan Doni. Hal tersebut sudah berulang-ulang sampai beberapa kali. Mereka berdua diam-diam menjalin cinta di belakang Wahyu. Setiap sepulang sekolah Wahyu tidak pernah bertemu Amel lagi.
Lihat Juga : Contoh Pantun Nasehat
Dari informasi dan beberapa contoh naskah drama yang tersedia di atas, maka dapat disimpulkan bahwa naskah drama memiliki lima elemen penting yaitu babak, adegan, prolog, dialog, dan epilog. Selain itu naskah drama juga memiliki berbagai jenis tema yang dapat Anda pilih. Maka dari itu, dengan adanya beberapa contoh naskah drama berbagai tema yang ada di atas, semoga dapat membantu Anda ketika mencari naskah drama yang bagus dan menarik untuk dipakai!
Naskah drama modern yang sering dipentaskan yaitu ken arok. manusia baru, lukisan massa.
Naskah drama terpopuler di dunia yang sering dipentaskan yaitu hamlet karya William Shakespeare, oedipus rex karya Shopocles, death of a salesman karya Arthur Miller, look back in anger karya John Osborne.
Jenis drama yang tidak menggunakan naskah yaitu drama tradisional.
Penulis : Adella Eka Ridwanti | Editor : Rudi Dian Arifin, Wahyu Setia Bintara
Discussion | 0 Comments
*Komentar Anda akan muncul setelah disetujui